Pengalaman Angkutan Umum dari Masa ke Masa - Part One

Pertama kali naik angkutan umum seumur hidup yang masih bisa diingat mungkin antara mikrolet/dokar/ojek/colt. Sejak lahir sampai umur 8 tahun saya tinggal di Lawang, Kab. Malang yang waktu itu angkutan umum masih menjadi idola. Ada mikrolet LA (Lawang Arjosari) yang sampai sekarang masih ada dengan cat hijau mudanya, ada colt (semacam mobil diesel) yang rutenya mirip dengan LA tapi kayaknya agak lebih panjang, dan tidak lupa ada dokar (delman roda dua yang ukuran rodanya besar), dan ojek pengkolan. Di sana tidak ada becak, mengingat kondisi geografis yang mirip perbukitan dengan kondisi aspal jalan yang tidak terlalu bagus. Waktu itu saya masih terlalu kecil untuk bisa naik angkot sendiri. Oh ya, di Lawang ada juga lokasi tempat pemberhentian bus yang berangkat dari Arjosari. Lawang adalah kecamatan yang menjadi lokasi perantara Malang-Surabaya dan sering kali dilewati mobil luar kota. Karena jalanan di sana adalah jalanan yang menjadi penghubung antar kota dan antar propinsi, ditambah kondisi geografis yang naik turun, sering kali terjadi kecelakaan di daerah sana. Pengemudi yang melintasi daerah tersebut diharap ekstra hati-hati.

Pindah ke daerah Sengkaling di umur 8 tahun, saya mulai berkenalan dengan mikrolet BL (Batu Landungsari) berwarna ungu atau KL (Karangploso Landungsari) berwarna putih yang menjadi tandem saya ketika masih jaman sekolah menengah. Saya baru diijinkan naik angkot sendiri kelas 6 SD, sebelumnya masih diikutkan antar jemput. Rumah saya ada di Kab. Malang yang sangat dekat dengan perbatasan. Agak nanggung naik angkot ke Terminal Landungsari karena jaraknya cukup dekat. Setelah sampai Landungsari lalu oper angkot ke Kota Malang. Oper-operan ini yang kadang suka lama dan bikin malas.

SD naik BL/KL disambung AL (Arjosari Landungsari) atau GL (Gadang Landungsari). Waktu SMP, sekolah saya lebih jauh, sambungannya cuma bisa dengan ADL (Arjosari Dinoyo Landungsari). Bisa sih dengan menggunakan AL, tapi suka lama dan sering kali tidak mengantarkan sampai Arjosari. Padahal SMP saya termasuk SMP yang di rute hampir dekat ke arah Arjosari. Waktu itu angkot betul-betul idola dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Jaman SMP saya sering main ke Sawojajar karena teman sekolah saya mostly tinggal di sana. Angkot MM yang ngetem di Klojen dan lewat Sawojajar pasti diperebutkan anak-anak sekolah sampai luber-luber. Yang jadi pe er dalam perangkotan ketika SMP adalah jadwal sekolah saya yang masuk siang selama 1,5 tahun. Pulang sekolah waktu masuk siang adalah jam 17.00 dimana rasanya sudah super malam sampai di rumah. Jarak SMP ke rumah cukup jauh, tiap hari paling cepat jam 18.00 sampai rumah. Sering kali jam 18.15 sampai 18.30 baru sampai rumah, karena kena waktu ngetem di Landungsari. Dan itu terjadi kelas 1 dan 2 SMP, yang mana anak baru lulus SD masih ada di jalan malam-malam karena keadaan, huhu. Kayaknya kalo itu terjadi di jaman sekarang bikin orang tua was-was mungkin ya, mengingat kondisi sekarang yang rawan tindak kriminal dimana-mana.

SMA sekolah saya lebih dekat daripada SMP tapi masih satu jalur. Tidak ada adaptasi lagi dalam perangkotan. Begitu pula dengan kuliah, yang jaraknya lebih dekat lagi ke rumah. Saya kuliah membawa motor, tapi di semester pertama sempat naik angkot beberapa bulan. Yang jelas ketika kuliah jika naik angkot mahal di ongkos, karena sudah harus bayar tarif orang dewasa, bukan lagi anak sekolah, hehe. Itu yang mendorong untuk segera bawa kendaraan sendiri, mengingat harus oper-oper angkot di Landungsari yang makin makan waktu dan biaya. Say bye bye to angkot...

0 comments:

Post a Comment