Flash back sekitar 20 tahun lalu, itu adalah kali pertama aku punya buku harian. Berawal dari buku tulis sampul coklat sisaan yang tidak dipakai sebagai buku pelajaran, dicobalah buku itu sebagai buku harian pertama. Yah namanya anak SD, apa sih isinya. Paling cuma cerita hari ini pelajaran apa, di sekolah ada kejadian apa, sudah. Ngga ada tuh namanya meluapkan perasaan melalui tulisan. Mungkin buku harian pertamaku lebih mirip buku pelajaran Bahasa Indonesia kali yah 😅

Bergeser jadi murid SMP, mulailah buku harian menjadi ajang peluapan perasaan, haha. Berawal dari ikut-ikutan temen-temen yang punya taksiran masing-masing, trus dengan serta merta ngasal nyari siapa yang bisa ditaksir, eh terus ada yang minta kenalan, trus lalu mulai suka sama yang ngajak kenalan..OMG alay banget sihhhhh. Tapi ya memang begitulah adanya, masa remaja yang pernah alay juga.

Ngga hanya soal taksiran, buku harian jaman SMP diisi juga dengan persahabatan, geng ala-ala AADC *ngakunya, padahal kenyataannya tidak seindah harapan 😜. Ditambah dengan sederet kegiatan sekolah yang dijalani dengan rasa seru ketika itu, walhasil buku harian SMP ada lebih dari 3 buku! Yah walaupun ukurannya bervariasi sih, tapi menurutku itu wow kalo dipikir-pikir sekarang, haha. Sehari bisa nulis lebih dari 4 halaman buku diary besar. Dan buku itu jadi saksi nostalgia waktu jaman SMA (anak SMA mengingat cerita SMP maksudnya).

SMA mulai ketemu teman-teman baru dengan kegiatan yang jauh berbeda dengan SMP. Karena temen geng SMP berpencar beda sekolah, rasa persahabatan SMA jadi agak beda sih. Mungkin juga karena lingkungan dan tipe teman-teman SMA yang relatif beda dengan teman dekat waktu SMP, jadi tidak terlalu banyak cerita di diary SMA. Rasanya cerita taksir-taksiran jaman SMA ngga se wow SMP juga. Entahlah SMA ngga terlalu interest dengan hal itu. Mungkin karena belum bisa move on, atau belum bisa memulai awal baru *eaa

Total diary dari awal sampai SMA bisa dikumpulkan jadi satu box sepatu penuh. Entahlah disimpan di mana sekarang. Kalau nanti suatu saat dibaca lagi, kayaknya mau ngabur aja deh. Ngga kuat alaynya. hahaha.

Kuliah apalagi, males menulis bangeeett. Ada peristiwa apapun lebih enak mendokumentasikan langsung via foto. Jadi kalau mau nostalgia, palingan liat sampai habis urutan foto itu,

Begitulah adanya kenapa gaya tulisan dan pengungkapanku di blog ini masih jauh dari sempurna. Menulis ibarat latihan yang harus selalu diulang-ulang. Sekali vakum maka untuk memunculkan sisi penulis ini tadi butuh effort&doa yang luar biasanya 😄




Bukan, judulnya bukan ikut-ikutan judul buku yang jadi film (*** in the city) yang terkenal itu yah. Isinya juga ngga sama euy. Bingung aja mau dikasi judul apaan, dan kemudian terlintas kalimat itu, hahaha.

Jadi ceritanya weekend ini sampai Idul Adha aku ke Kerinci untuk bertemu dengan keluarga besar calon adik ipar. Pesawat yang kami naiki dari Jakarta ke Jambi adalah Senin pagi-pagi, jadi kami memutuskan untuk stay di Jakarta semalam ini. Berhubung nyampe Jakarta masih siang, aku dan suami berencana untuk main ke tempat kita dulu pacaran sekalian nostalgia, *uhuk

Tempat yang akan kami kunjungi adalah Pacific Place karena disitulah kami pacalan berkedok kerja. Ya, aku berkantor di seberang PP, sedangkan mas bojo di office buildingnya PP. Jadilah kami nyolong waktu pacalan after office hour disitu.

Kenapa dibilang nyolong, karena ada dua alasan sih. Pertama, kami pacalan backstreet dari teman-teman, dan kedua karena aku sering dapat kerjaan di luar kota. Sekalinya balik ke Jakarta adalah untuk lembur berminggu-minggu. Jadinya disempet-sempetin lah itu jadwal pacalannya 😆.

Melintasi tunnel di bawah PP, kebayang gimana muka mas bojo di masa itu. Kalo pulang kantor pas bisa tenggo, pasti janjian di PP. Waktu itu sih mas bojo masi kutilang dan pake baju office look, yang mana sekarang udah ngga pernah dipake samsek 😄.


Pindah spot, seberang PP adalah kantor pertamaku. Kalo lokasi ini begitu dilewati rasanya jadi agak nano-nano sih. Kebayang awal-awal kerja as fresh graduate dari daerah yang harus struggle dengan ibukota, adaptasi dengan kerjaan dan rekan kerja yang high intense dan full expectation, pertama kali harus tinggal jauh dari keluarga, macem-macem deh. Ga berasa udah 6 tahun lalu, one of the hardest part in my life sih ini, haha. Sekaligus one of the sweetest moment sama sahabat-sahabat kuliahku yang berjuang bersama dari nol. Banyak banget pelajaran dari tahun-tahun itu yang priceless, dan ngga akan bisa terganti.


Dan di daerah ini juga mengingatkan kami akan TKP ketauannya kami pacalan setelah beberapa lama backstreet dari teman sepermainan 😅. Jadi ceritanya aku dan mas bojo adalah satu jurusan beda angkatan yang jadi teman sepermainan di himpunan mahasiswa. Tentu inner circle kami adalah orang-orang yang sama, dan kami udah temen banget satu sama lain. Ketika perasaan "temen" berubah naik level jadi "bukan sekedar temen", tentu akan mengubah peta pertemanan dengan teman lainnya juga. Kami memutuskan untuk backstreet dulu agar situasi tetap kondusif. Namun yang namanya nasib, sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Kami ketauan oleh teman yang biasa jadi pembawa berita hosip terbaru di lingkaran kami. Habislah sudah riwayat backstreet itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya 😑.


Kami sudah cukup lama ngga berkunjung ke Jakarta. Melihat pembangunan yang cukup banyak membuat wajah ibukota yang ada di ingatan bertahun-tahun lalu mulai memudar. Jakarta yang kuingat tidak sama dengan Jakarta yang kulihat hari ini. Kami sama-sama tumbuh dari beragam sisi yang berbeda. Di jalan bolak-balik membahas sama mas bojo, kami sama-sama membayangkan, gimana seandainya kami masih tetap disana dan memutuskan meneruskan hidup disana. Kalo udah ada anak kicik seperti saat ini, gimana kehidupan kami disana? Banyak pertanyaan yang terus berlanjut.

Sekali lagi, life is all about choice. Ketika ada satu titik kita harus memilih, pilihan itu akan membawa konsekuensi jangka panjang. Ngga cuma buat kita, tapi juga untuk suami, anak, keluarga besar, semua akan terdampak. Hidup bisa berubah karena satu pilihan itu. Mau hidup seperti apa dan bagaimana, semua tergantung kita sendiri.

Good night Jakarta, it's nice to see you again.




Kalau dihitung mundur, kurang lebih masa SMP kelahiran tahun 1988 mostly adalah dimulai tahun 2000 (18 tahun lalu). Sedangkan akhir SMA sekitar tahun 2006 (12 tahun lalu). Sudah lewat satu dekade masa-masa itu dijalani, dan kehidupan sebagai manusia dewasa sudah terlihat semakin nyata. Sekarang sudah masuk kepala tiga, dan tentu kita yang sekarang jauh berbeda dengan kita waktu itu.

Pemikiran random ini dimulai dari diinvite-nya saya ke dalam grup whatsapp teman-teman SMP beberapa waktu lalu. Kebetulan waktu SMP pernah punya geng cewe yang masih berlanjut sampai sekarang. Memang kita semua pernah alay di masanya. Kalau ingat apa aja yang pernah dilakukan dengan geng ini semasa sekolah, kayaknya kalau waktu itu ada masalah besar pun ngga ada apa-apanya dibanding masalah dan tanggung jawab yang dihadapi saat ini. Kemudian tertawa dalam hati, kenapa waktu itu lebay ya. Kenapa waktu itu bodoh ya. Kenapa waktu itu ngga pikir panjang ya. Endesbre endesbre.

Alhasil ketika masuk grup itu, membaca percakapan, serta melihat member grup, berbagai ingatan masa lalu datang. Saya yakin setiap orang punya ingatan masa remaja yang istimewa. Cerita mengenai sekolah, guru, teman, sahabat, gebetan, pacar, semua mewarnai hidup anak remaja yang beranjak dewasa. Kalau SMA udah agak bisa mikir lebih mateng lah. Kalau SMP kayaknya masih jet lag peralihan dari anak-anak ke remaja.

Kalau untuk SMA, 2 tahun lalu sudah ada reuni 10 tahun lepas SMA. Jadi sudah ada bayangan lah seperti apa teman-teman sekolah di masa sekarang. Tapi kalau untuk SMP, sudah terlalu jauh rasanya untuk diingat lagi. Walaupun mostly anak SMP saya bersekolah di SMA yang sama dengan saya, namun teman-teman dekat dan sahabat saya beda SMA. Agak sedikit penasaran dengan kabar mereka hari ini, karena sudah tidak satu SMA dan satu kampus dengan mereka.

Salah satu jendela kepo adalah Facebook. Dulu waktu masih kuliah rajin banget update di FB. Begitu kerja langsung hiatus. Sekarang juga sudah jarang sih. Paling hanya update di saat-saat tertentu. Di antara sekian media sosial, kayaknya FB yang paling tau masa lalu kita, dan progress hingga hari ini kalau ada yang masih update sesekali. Ada yang dulu begini, sekarang tetap begini. Ada yang dulu begini, sekarang jadi begitu. Macam-macam keadaannya. Kepo lewat FB pasti bisa sampai berjam-jam, apalagi kalau yang dikepoin banyak, haha.

Saya teringat dengan apa yang dikatakan VP saya waktu interview masuk kantor yang sekarang. "Apa yang sudah kita lewati di masa lalu, mau sekolah di mana, jurusan apa, sekolah bagus kek, atau peringkat tertinggi kek, itu semua tidak akan ada artinya kalau tidak diperjuangkan hingga titik ini. Itu semua hanya romansa masa lalu. Yang paling penting adalah di titik mana kita sekarang."

Saya berpikir, in the end, life is all about survive. Masa lalu memang membentuk seseorang hari ini. Tapi masa depan sangat bisa dibentuk mulai sekarang. Jadi, mau jadi apa Anda hari ini?