Love in The City

Bukan, judulnya bukan ikut-ikutan judul buku yang jadi film (*** in the city) yang terkenal itu yah. Isinya juga ngga sama euy. Bingung aja mau dikasi judul apaan, dan kemudian terlintas kalimat itu, hahaha.

Jadi ceritanya weekend ini sampai Idul Adha aku ke Kerinci untuk bertemu dengan keluarga besar calon adik ipar. Pesawat yang kami naiki dari Jakarta ke Jambi adalah Senin pagi-pagi, jadi kami memutuskan untuk stay di Jakarta semalam ini. Berhubung nyampe Jakarta masih siang, aku dan suami berencana untuk main ke tempat kita dulu pacaran sekalian nostalgia, *uhuk

Tempat yang akan kami kunjungi adalah Pacific Place karena disitulah kami pacalan berkedok kerja. Ya, aku berkantor di seberang PP, sedangkan mas bojo di office buildingnya PP. Jadilah kami nyolong waktu pacalan after office hour disitu.

Kenapa dibilang nyolong, karena ada dua alasan sih. Pertama, kami pacalan backstreet dari teman-teman, dan kedua karena aku sering dapat kerjaan di luar kota. Sekalinya balik ke Jakarta adalah untuk lembur berminggu-minggu. Jadinya disempet-sempetin lah itu jadwal pacalannya 😆.

Melintasi tunnel di bawah PP, kebayang gimana muka mas bojo di masa itu. Kalo pulang kantor pas bisa tenggo, pasti janjian di PP. Waktu itu sih mas bojo masi kutilang dan pake baju office look, yang mana sekarang udah ngga pernah dipake samsek 😄.


Pindah spot, seberang PP adalah kantor pertamaku. Kalo lokasi ini begitu dilewati rasanya jadi agak nano-nano sih. Kebayang awal-awal kerja as fresh graduate dari daerah yang harus struggle dengan ibukota, adaptasi dengan kerjaan dan rekan kerja yang high intense dan full expectation, pertama kali harus tinggal jauh dari keluarga, macem-macem deh. Ga berasa udah 6 tahun lalu, one of the hardest part in my life sih ini, haha. Sekaligus one of the sweetest moment sama sahabat-sahabat kuliahku yang berjuang bersama dari nol. Banyak banget pelajaran dari tahun-tahun itu yang priceless, dan ngga akan bisa terganti.


Dan di daerah ini juga mengingatkan kami akan TKP ketauannya kami pacalan setelah beberapa lama backstreet dari teman sepermainan 😅. Jadi ceritanya aku dan mas bojo adalah satu jurusan beda angkatan yang jadi teman sepermainan di himpunan mahasiswa. Tentu inner circle kami adalah orang-orang yang sama, dan kami udah temen banget satu sama lain. Ketika perasaan "temen" berubah naik level jadi "bukan sekedar temen", tentu akan mengubah peta pertemanan dengan teman lainnya juga. Kami memutuskan untuk backstreet dulu agar situasi tetap kondusif. Namun yang namanya nasib, sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Kami ketauan oleh teman yang biasa jadi pembawa berita hosip terbaru di lingkaran kami. Habislah sudah riwayat backstreet itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya 😑.


Kami sudah cukup lama ngga berkunjung ke Jakarta. Melihat pembangunan yang cukup banyak membuat wajah ibukota yang ada di ingatan bertahun-tahun lalu mulai memudar. Jakarta yang kuingat tidak sama dengan Jakarta yang kulihat hari ini. Kami sama-sama tumbuh dari beragam sisi yang berbeda. Di jalan bolak-balik membahas sama mas bojo, kami sama-sama membayangkan, gimana seandainya kami masih tetap disana dan memutuskan meneruskan hidup disana. Kalo udah ada anak kicik seperti saat ini, gimana kehidupan kami disana? Banyak pertanyaan yang terus berlanjut.

Sekali lagi, life is all about choice. Ketika ada satu titik kita harus memilih, pilihan itu akan membawa konsekuensi jangka panjang. Ngga cuma buat kita, tapi juga untuk suami, anak, keluarga besar, semua akan terdampak. Hidup bisa berubah karena satu pilihan itu. Mau hidup seperti apa dan bagaimana, semua tergantung kita sendiri.

Good night Jakarta, it's nice to see you again.




0 comments:

Post a Comment