Imunisasi dan Rumah Sakit

Setelah sudah lebih dari 3 bulan tidak berkunjung ke rumah sakit untuk imunisasi, akhirnya tiba waktunya untuk imunisasi usia 1 tahun buat si anak kicik. Imunisasi kali ini adalah imunisasi booster yang tidak dicover asuransi karena bukan imunisasi dasar. Setelah cross check ke dua rumah sakit langganan, akhirnya diputuskan imunisasi ke rumah sakit yang bukan rumah sakit utama.

Kenapa bukan rumah sakit utama? Jadi ceritanya adalah sejak Risyad lahir sampai beberapa bulan setelahnya, kami berobat ke salah satu RS yang cukup terkenal di Malang karena pelayanan yang bagus, selalu sesuai SOP, dan fasilitas yang memadai. Walaupun bukan RSIA, namun pelayanan dokter obgyn dan dokter SPA (spesialis anak)-nya oke. Tidak heran kalau RS ini jadi hits di kalangan mamak-mamak hamil menyusui dan yang punya anak kecil. Saya juga by accident jadi beruntung bisa melahirkan dan berobat di sini padahal sebelumnya RS ini adalah RS yang tidak dicover asuransi kantor. Bersyukur deh di saat dibutuhkan ternyata ada rejeki melahirkan di RS yang jadi idaman.

Kontrol setelah melahirkan, kelas laktasi, imunisasi, beberapa kali Risyad sakit, kami selalu ke RS utama ini. Namun semakin ke sini ada pergeseran layanan yang menjadikan ada perubahan rasa berkunjung ke RS ini. Ternyata sehari setelah Risyad lahir, RS ini ditunjuk untuk melayani askes dan BPJS setelah sebelumnya tidak. Ke-hits-an RS ini ternyata berimbas pada makin banyaknya pasien yang berobat karena ditambahi pasien dari askes dan BPJS. Mungkin karena bertepatan dengan jadwal renovasi atau efek ketidaksiapan manajemen RS menghadapi membludaknya pasien, antrian pelayanan dan alur waktu tunggu dalam satu kali berobat bisa sangat panjang. Kalau cuma sekedar imunisasi masih bisa dihandle lah ya anaknya, masih bisa diajak main ke sana kemari. Kasihan kalau sakit, waktu menunggu bisa jadi bikin anak cranky dan ortunya makin emosi.

Dengan pertimbangan itu akhirnya kami beralih ke RSIA yang lebih dekat rumah dan lebih sepi antriannya tanpa mengesampingkan kualitas pelayanannya. Toh juga sama-sama bayar sendiri. Di samping itu, entah kenapa tarif imunisasi PCV nya beda jauh, padahal merk vaksinnya sama-sama Prevenar 13. Di RS utama menggunakan HET IDR 850.000 belum biaya admin dan dokter, sedangkan di RSIA yang kami pilih IDR 860.000 sudah all in. Tentu saja kami makin yakin ke RSIA itu tadi.

Sebenarnya untuk proses imunisasinya seperti biasa. Hanya saja kami menunggu cukup lama karena dokternya tidak kunjung datang. Sedangkan respon anak kicik, ternyata dia lebih cepat menyadari imunisasi itu sakit daripada yang kami prediksi. Baru ditimbang saja sudah jejeritan, apalagi waktu disuntik. Pasrah deh dia teriak dan berontak sekenceng mungkin. Risyad tipe bayi yang suaranya kenceng tapi bukan melengking. Jadi memang suka bikin panik sih kalo dia nangis sejak new born. Tapi untungnya dia tipe yang cepat berhenti nangis juga. Alhamdulillah imunisasi done!

Pada akhirnya kalau membahas pelayanan rumah sakit, akan berujung pada pertanyaan, jadi sebenarnya apakah pemerintah sudah cukup menjadikan kesehatan sebagai layanan prioritas kepada masyarakat? Saya tidak ingin menjadikan pertanyaan ini jadi berbuntut panjang atas argumen banyak pihak yang saling berbenturan satu sama lain. Saya bukan orang yang berkecimpung di dunia medis. Saya hanya masyarakat biasa yang kebetulan menggunakan asuransi kantor dalam pelayanan rumah sakit. Ya saya tahu diri, karena dicover asuransi yang punya plafon tertentu, pelayanan rumah sakit yang saya terima pun ada batasnya. Namun bagaimana dengan fasilitas pelayanan yang akan diterima teman-teman pengguna askes dan BPJS yang jumlahnya di luar sana sangat banyak? Apakah RS sudah memberikan pelayanan yang adil dan berimbang?

0 comments:

Post a Comment