Setelah kuliah semester 1 naik angkot dengan konsekuensi pengeluaran membengkak akibat tarif yang dikenakan tidak lagi anak sekolah, tibalah saatnya saya naik motor sebagai alat transportasi. Itu dilakukan sejak semester 2 sampai lulus kuliah. Terbukti setelah naik motor pengeluaran berkurang drastis, namun sebenarnya alokasi lain yang bertambah, yaitu munculnya kredit sepeda motor.

Lulus kuliah saya kerja di Jakarta dan berkenalan dengan banyak jenis angkutan umum yang sangat bervariasi, mulai dari bis, KRL, ojek, bajaj, kopaja, metromini, taksi, dsb. Tahun pertama saya menjadi pelanggan setia kopaja 19 trayek Tanah Abang-Ragunan yang melewati kos di Bendungan Hilir dan kantor di Sudirman. Jaraknya sangat dekat, namun tidak mungkin juga jalan kaki (walaupun pernah dicoba dan itu cukup bikin jadi olahraga malam waktu itu). Trayek ini cukup banyak diminati, jadi ketika pulang tenggo, malah harus berebut untuk bisa masuk kopaja. Seringkali saya naik kopaja ini berdiri, baik berdiri di dalam atau di pintu kopaja. Untuk beberapa hal, saya lebih suka jika berdiri di pintu saja karena hemat waktu untuk naik dan turun 😆. Saya menggunakan kopaja selama 2 tahun pertama bekerja, untungnya mostly saya di luar kota, jadi tidak setiap hari juga berebutan kopaja dan berdiri di pintu kopaja.

Alternatif lain adalah menggunakan bus transjakarta. Trayeknya adalah Blok M-Kota. Namun jika naik bus ini selain lebih mahal (waktu itu kopaja 2.000 rupiah dan bus transjakarta 3.500 rupiah), setiap naik dan turun bus kami harus jalan dari pinggir jalan ke halte. Itu cukup menyita waktu dan tenaga, belum lagi kalau berangkatnya mepet. Berati harus lari-larian di saat orang lain jalan normal.

Sesekali saya ke tempat lain menggunakan metromini atau KRL. Di situlah seninya mencari alternatif transportasi. Tahun ketiga dan seterusnya saya pindah tempat kos dan petualangan mencari angkutan umum tetap tidak terganti.
Pertama kali naik angkutan umum seumur hidup yang masih bisa diingat mungkin antara mikrolet/dokar/ojek/colt. Sejak lahir sampai umur 8 tahun saya tinggal di Lawang, Kab. Malang yang waktu itu angkutan umum masih menjadi idola. Ada mikrolet LA (Lawang Arjosari) yang sampai sekarang masih ada dengan cat hijau mudanya, ada colt (semacam mobil diesel) yang rutenya mirip dengan LA tapi kayaknya agak lebih panjang, dan tidak lupa ada dokar (delman roda dua yang ukuran rodanya besar), dan ojek pengkolan. Di sana tidak ada becak, mengingat kondisi geografis yang mirip perbukitan dengan kondisi aspal jalan yang tidak terlalu bagus. Waktu itu saya masih terlalu kecil untuk bisa naik angkot sendiri. Oh ya, di Lawang ada juga lokasi tempat pemberhentian bus yang berangkat dari Arjosari. Lawang adalah kecamatan yang menjadi lokasi perantara Malang-Surabaya dan sering kali dilewati mobil luar kota. Karena jalanan di sana adalah jalanan yang menjadi penghubung antar kota dan antar propinsi, ditambah kondisi geografis yang naik turun, sering kali terjadi kecelakaan di daerah sana. Pengemudi yang melintasi daerah tersebut diharap ekstra hati-hati.

Pindah ke daerah Sengkaling di umur 8 tahun, saya mulai berkenalan dengan mikrolet BL (Batu Landungsari) berwarna ungu atau KL (Karangploso Landungsari) berwarna putih yang menjadi tandem saya ketika masih jaman sekolah menengah. Saya baru diijinkan naik angkot sendiri kelas 6 SD, sebelumnya masih diikutkan antar jemput. Rumah saya ada di Kab. Malang yang sangat dekat dengan perbatasan. Agak nanggung naik angkot ke Terminal Landungsari karena jaraknya cukup dekat. Setelah sampai Landungsari lalu oper angkot ke Kota Malang. Oper-operan ini yang kadang suka lama dan bikin malas.

SD naik BL/KL disambung AL (Arjosari Landungsari) atau GL (Gadang Landungsari). Waktu SMP, sekolah saya lebih jauh, sambungannya cuma bisa dengan ADL (Arjosari Dinoyo Landungsari). Bisa sih dengan menggunakan AL, tapi suka lama dan sering kali tidak mengantarkan sampai Arjosari. Padahal SMP saya termasuk SMP yang di rute hampir dekat ke arah Arjosari. Waktu itu angkot betul-betul idola dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Jaman SMP saya sering main ke Sawojajar karena teman sekolah saya mostly tinggal di sana. Angkot MM yang ngetem di Klojen dan lewat Sawojajar pasti diperebutkan anak-anak sekolah sampai luber-luber. Yang jadi pe er dalam perangkotan ketika SMP adalah jadwal sekolah saya yang masuk siang selama 1,5 tahun. Pulang sekolah waktu masuk siang adalah jam 17.00 dimana rasanya sudah super malam sampai di rumah. Jarak SMP ke rumah cukup jauh, tiap hari paling cepat jam 18.00 sampai rumah. Sering kali jam 18.15 sampai 18.30 baru sampai rumah, karena kena waktu ngetem di Landungsari. Dan itu terjadi kelas 1 dan 2 SMP, yang mana anak baru lulus SD masih ada di jalan malam-malam karena keadaan, huhu. Kayaknya kalo itu terjadi di jaman sekarang bikin orang tua was-was mungkin ya, mengingat kondisi sekarang yang rawan tindak kriminal dimana-mana.

SMA sekolah saya lebih dekat daripada SMP tapi masih satu jalur. Tidak ada adaptasi lagi dalam perangkotan. Begitu pula dengan kuliah, yang jaraknya lebih dekat lagi ke rumah. Saya kuliah membawa motor, tapi di semester pertama sempat naik angkot beberapa bulan. Yang jelas ketika kuliah jika naik angkot mahal di ongkos, karena sudah harus bayar tarif orang dewasa, bukan lagi anak sekolah, hehe. Itu yang mendorong untuk segera bawa kendaraan sendiri, mengingat harus oper-oper angkot di Landungsari yang makin makan waktu dan biaya. Say bye bye to angkot...
Buat yang kelahiran sekitar akhir 80-an atau awal 90-an, di tahun 2000 awal pasti pernah denger lagunya First Love by Utada Hikaru yang jadi soundtracknya film dorama Jepang Terms for a Witch. Sesungguhnya udah lupa sih sama doramanya sendiri, habis ceritanya ngga mengenakkan untuk dilihat anak sekolahan waktu itu. Ceritanya tentang cinta terlarang antara Guru SMA cewe sama murid cowonya gitu deh. Karena menurutku (di kala itu yang masih jadi murid SMP) agak aneh dan ekstrim, jadi kuputuskan ngga ngikuti doramanya dan ngedengerin soundtracknya aja lah.

Kebetulan lagu ini liriknya mix bahasa Jepang dan Inggris. Sesungguhnya ngga ngerti-ngerti amat artinya apaan waktu itu, apalagi yang bagian bahasa Jepang. Namun demikian, lagu ini booming di masa-masa umur puberku, di saat mulai ngerasain first love juga, hahahaha #alaymodeon. Hayo ngaku deh yang seumuranku (terutama cewe2 sih, kalo cowo mah ngga kepikiran kali ya), ngedengerin lagu itu pasti bikin keinget taksiran di masa puber, hahaha. Let's check it out!

Lyrics from : https://www.lyricsmode.com/lyrics/u/utada_hikaru/first_love.html

Saigono kissu wa
Tabako no flavor gashita
Nigakute setsunai kaori

Ashita no imagoro ni wa
Anata wa doko ni irun darou'
Dare wo omotte 'run darou'

You are always gonna be my love
Itsuka dare kato mata koi ni ochitemo
I'll remember to love
You taught me how
You are always gonna be the one
Imawa mada kanashii love song
Atarashi uta utaeru made

Tachidomaru jikan ga
Ugoki dasou to shiteru
Wasuretakunai koto bakari

Ashita no imagoro ni wa
Watashi wa kitto naiteru
Anata wo omotte 'run darou'

Yay yay yeah

You will always be inside my heart
Itsumo anata dake no basho ga aru kara
I hope that I have a place in your heart too
Now and forever you are still the one
Imawa mada kanashii love song
Atarashii uta utaeru made

You are always gonna be my love
Itsuka dare kato mata koi ni ochitemo
I'll remember to love
You taught me how
You are always gonna be the one
Mada kanashii love song yeah
Now & forever ah...
Ini adalah hari pertama bapak ibuk anak berada di kota yang berbeda. Sebenarnya sudah ada rencana buat mengajak anak kicik dan si bibik pindahan ke Sidoarjo sejak akhir bulan kemarin. Tapi berhubung mau ditinggal si bapak dinas dua minggu, nanti saja diundur setelah si bapak selesai dinas, mengingat barang bawaan cukup banyak dan pekerjaan beberes yang sepertinya berkelanjutan pasca si anak kicik pindah ke sini.

Ini pertama kalinya kami bertiga berada di tempat yang beda-beda untuk jangka waktu yang cukup lama. Sempat sih beberapa kali, tapi itu pun cuma sehari waktu saya dinas luar kota. Sekarang akan ada dua weekend saya ke Malang sendiri dan kembali ke Surabaya sendiri.

Di rumah sendiri membuat flash back beberapa tahun lalu ketika memulai bekerja dan hidup sendiri. Tahun pertama dan kedua masih ada teman sekamar tapi kami sama-sama ada klien luar pulau berbulan-bulan. Tahun ketiga sampai kelima LDR. Tahun keenam LDM. Tahun ketujuh long distance sama anak kicik. Ini tahun kedelapan masih long distance sama anak kicik, soon to be nggak lagi lah. Sudah cukup. Apalagi dua minggu ini pencar-pencar semua. Cukup jadi penghujung cerita long distance lah ya.

Long distance jaman masih pacalan waktu itu masih dikelilingi temen-temen yang sesama single *dalam artian belum nikah, entah ada pacar atau tidak. Hari-hari selain ngantor juga diisi dengan kegiatan di luar kantor yang cukup beragam. Weekend masih bisa bangun siang dan doing nothing sampai sore cuma mandi sehari sekali 😆. Ketika menjelang masa kawin tiba (kebetulan teman sepermainan di kantor usianya ngga jauh beda dan hampir bersamaan nikahnya), muncullah jadwal kondangan kesana-sini. Sempet juga ada jadwal nganterin cari seragam, cari undangan, cari souvenir, jadwal akad, jadwal resepsi, macem-macem. Jaman masih gadis juga jaman masih bisa, sempat, dan mau travelling backpacker. Ada jadwal sama si ini, si itu, kesana, kesini. Bukan berarti sekarang ngga mau backpackeran lagi, tapi sepertinya harus ditahan dulu sampai anak sudah bisa diajak backpackeran juga 😄

Long distance waktu sudah menikah tidak jauh berbeda dengan masih pacalan. Bedanya jadi lebih sering pulang atau dikunjungi daripada sebelumnya. Kegiatan sehari-hari sama saja dengan waktu masih single semasa bukan jadwal kunjungan. Sempet ada istilah jomblo wilayah juga waktu itu. Ketika waktunya berkunjung barulah rasa rumah tangga itu ada 😅. Pun demikian dengan hubungan ke mertua atau keluarga besar suami. Masih belum nge-blend karena masih super jarang ketemunya.

Kalau long distance waktu sudah ada anak dibahas lain kali deh. Nanti makin mellow ngga bobok-bobok. Anyway, enjoy this Sunday night everybody!